Saturday, May 17, 2014

Naik Gunung Merapi



Assalamu’alaikum

Waktu SD saya sering lihat foto paman-paman saya naik gunung. Saya juga pernah menemani mereka packing sebelum naik gunung, ah seru sekali tampaknya. Dalam hati saya waktu itu, suatu saat nanti saya juga akan melakukan perjalanan yang sama. Naik gunung. 

Alhamdulillah, akhirnya saya pernah merasakan yang namanya naik gunung. Blame 5 cm both book and movie that makes my dream when i was kid to climb a mountain come up. Haa.

Perjalanan ini sudah lama hampir satu semester lalu, 1 Desember 2013. Terima kasih yang sudah mengoyak-ngoyak untuk naik gunung Moa dan teman seperjalanan Uni Ola yang pemula naik gunung tapi ke luar negeri mah keciiil, pak guru Nanang yang menyanyi riang gembira sepanjang pendakian, Bhe mahasiswa S2 yang bersedia nemenin para pemula, senior fajar yang bersedia jaga di belakang serta pengusaha baik hati Sigit yang bersedia menampung dan antar jemput pendaki *saelah. 

Surabaya – Yogya saya tempuh dengan naik bis Eka dari terminal Purabaya. Perjalanan pertama sendirian, jauh dan bukan pulang ke rumah. *Clap hands because of my bravery, haa. Sepanjang perjalanan saya tidur. Orang malem-malem sih, jadinya kan enakan tidur. Oya itu ternyata Jumat sore rebutan loh naik bis ke Yogya, saya yang masih pemula bawa tas carrier udah gitu dengan bodohnya udah bekel aqua botol gede dua buah dari Surabaya *hastaga.

Sesampainya di Yogya, saya sudah ditunggu teman-teman yang sudah sampai lebih dulu dari Jakarta. Karena pendakian sore hari jadi berangkat dari Yogya itu kira-kira jam 1 siang. Maka paginya kami sempatkan ke Malioboro dulu, gak beli oleh-oleh ya keliling aja. :D. Dari Yogya naik mobil menuju Boyolali, karena rencana pendakian dari pos pendakian New Selo. 

Selepas berdoa dan memulai pendakian, belum sampai 10 menit, belum ketemu nanjak yang sampai 45 derajat, belum haus. Dalam hati ini udah bilang, “Subhanallah, gilak, parah, najong dah begini beratnya bawa carrier perjalanan 5 jam nanjak terus gak ada eskalator supaya sampai pasar bubrah tempat istirahat orang kok pada suka ya naik gunung ”. Temen saya yang peka banget meminta saya tuker tas dengan yang lebih ringan. Alhamdulillah perjalanan terasa lebih mudah.

Saya termasuk yang berjalan paling lambat, hampir paling belakang (ga dibiarin perempuan yg dibelakang, dijagain dong), paling sering istirahat, paling lama juga istirahatnya kayanya. *maklum baru, amatir. Saya baru tahu kenapa memilih menanjak pada malam hari karena lebih adem jadi gak kepanasan jadi gak terlalu sering kehausan dan yang paling penting jadi gak tau kalau medan yang ada di depan mata tuh nyeremin (nanjak banget, batu gede, kanan kiri jurang) dan lo akan tahu itu pas perjalanan pulang. Saya pas pulang aja ngomong gini, “Oh My God, ya Allah, ternyata gw tuh kemarin lewatin beginian, kok bisa siiih, kok gw berani siiih.”

Setelah kurang lebih 5 jam perjalanan akhirnya sampai juga di pasar Bubrah tempat istirahat. Selesai bangun tenda, makan, minum kemudian tidur untuk persiapan bangun jam 4 pagi untuk naik ke puncak Merapi. Itu saya awalnya gak bisa tidur, dingiiin dan alasnya kan matras di atas pasir dan bebatuan yang pasti gak senyaman kasur kapuk bau iler di rumah. Haa. Itu saya juga ngebayangin yang serem-serem dari hantu macam pendaki ngesot *sodaraan ama suster ngesot, hewan buas macam nyamuk raksasa, pembunuh berdarah anget yang bawa piso lipet, atau Edward Cullen yang siap gigit lehernya pendaki ngesot karena mau ngelindungin saya*bah. 

Ba’da solat subuh, kami siap muncak dan melihat matahari terbit. Karena sebelum kami sudah banyak rombongan yang naik, maka kami hanya tinggal mengikuti saja. Menurut perkiraan dari pasar Bubrah menuju puncak itu gak terlalu lama. Dengan semangat 45 dan semangat muncak, sesulit apapun saya akan sampai ke puncak. Yeay. Tapi lama kelamaan, jalur dakinya ternyata makin sulit, kejatuhan batu dari atas, jalan yang merayap macam wall climbing, jalan selangkah bisa turun lagi, kebingungan karena gak ada batu yang bisa jadi pegangan atau patokan karena akan gelinding.

Di tengah perjalanan, teman saya ada yang memilih turun dan tidak melanjutkan sampai puncak selain sudah pernah dia merasa tidak bisa naik lagi. Teman saya yang lain ada juga yang mau ikut turun dan milih masak saja, tapi saya semangati soalnya nanti saya gak ada temannya yang jalan agak hati-hati *lambat maksudnya, soalnya kami sama-sama pemula jadi akan sangat keren kalau kami bisa muncak bersama. :D

Langit mulai berubah terang jadi biru, matahari sudah terbit kuning bulat cerah, kami belum sampai puncak juga. Kaki saya sudah lecet sana sini kena batu. Orang-orang banyak yang memilih turun dan tidak melanjutkan perjalanan. Beberapa orang di depan saya sudah beristirahat dan menyatakan tidak bisa lagi ke atas, kita salah jalur. Sedih sih, saya gak bisa lihat seperti apa di puncak saya gak bisa foto di tulisan Merapi sekian sekian Mdpl. Tapi saya senang sudah sejauh ini, batas maksimal yang bisa dicapai lewat jalur yang katanya salah ini.

Kami pun putuskan untuk turun setelah istirahat sambil memperhatikan kawanan lain yang lewat jalur lain, “jalur benar” menuju puncak Merapi. Mendengar pekikan takbir mereka karena sudah sampai di puncak dari kejauhan. Sebelum turun, dalam hati saya sudah bilang “ini gimana turunnya yak, naiknya aja merayap merangkak macam wall climbing, gw mau cari eskalator aja.” Dan benar saja daripada turun dengan cara berdiri yang mungkin gak bisa direm dan ada kemungkinan jatoh, maka dengan cara meluncur seperti naik perosotan lebih aman. Meski gak aman untuk bagian tubuh yang lain. Haha. Seru sekali. Saking serunya saya kalau ketemu turunan maunya perosotan saja *ini sih karena kecapekan dan kaki pegal-pegal.

Setelah sampai di tenda, makan, minum dan istirahat kami harus siap-siap untuk melanjutkan perjalanan turun. Yap, 5 jam yang sama. Kali ini saya membawa tas saya sendiri, karena sudah lebih ringan *makanan ludes ciiin.

Yah pantas banyak yang menyenangi olahraga yang menurut saya ekstrim ini, meski saya tak sampai puncak. Masya Allah pemandangannya saat matahari mulai terbit, barisan awan yang sudah seperti lautan awan yang biasanya saya lihat dari bawah dan harus menenggak ke atas untuk menatapnya. Kali ini saya memandang lautan awan seperti saya memandang tanah yang saya lihat sehari-hari. Wajah-wajah bahagia saat sudah sampai hampir puncak. Keriangan saat berjalan mendaki dan turun gunung. Saling menyemangati, mengingatkan, membantu untuk sama-sama sampai tujuan. Wajah langit kala malam, bintang begitu dekat. Dinginnya malam yang pasti beda sama dinginnya AC. Saling menyapa dengan grup pendaki lain. Masak makanan untuk mengganjal perut bekal melakukan pendakian. Ah seru sekali. Pantas saja, katanya naik gunung itu nagih. 

Sekian cerita pendakian gunung pertama versi saya, semoga Allah izinkan untuk mendaki gunung lainnya.

Wassalam.










No comments:

Post a Comment