Assalamu’alaikum
Waktu SD saya sering lihat foto paman-paman
saya naik gunung. Saya juga pernah menemani mereka packing sebelum naik gunung,
ah seru sekali tampaknya. Dalam hati saya waktu itu, suatu saat nanti saya juga
akan melakukan perjalanan yang sama. Naik gunung.
Alhamdulillah, akhirnya saya
pernah merasakan yang namanya naik gunung. Blame 5 cm both book and movie that
makes my dream when i was kid to climb a mountain come up. Haa.
Perjalanan ini sudah lama hampir
satu semester lalu, 1 Desember 2013. Terima kasih yang sudah mengoyak-ngoyak
untuk naik gunung Moa dan teman seperjalanan Uni Ola yang pemula naik gunung tapi ke luar negeri mah keciiil, pak guru Nanang yang menyanyi riang gembira sepanjang pendakian, Bhe mahasiswa S2 yang bersedia nemenin para pemula, senior fajar yang bersedia jaga di belakang serta pengusaha baik hati Sigit yang
bersedia menampung dan antar jemput pendaki *saelah.
Surabaya – Yogya saya tempuh
dengan naik bis Eka dari terminal Purabaya. Perjalanan pertama sendirian, jauh
dan bukan pulang ke rumah. *Clap hands because of my bravery, haa. Sepanjang
perjalanan saya tidur. Orang malem-malem sih, jadinya kan enakan tidur. Oya itu
ternyata Jumat sore rebutan loh naik bis ke Yogya, saya yang masih pemula bawa
tas carrier udah gitu dengan bodohnya udah bekel aqua botol gede dua buah dari
Surabaya *hastaga.
Sesampainya di Yogya, saya sudah
ditunggu teman-teman yang sudah sampai lebih dulu dari Jakarta. Karena
pendakian sore hari jadi berangkat dari Yogya itu kira-kira jam 1 siang. Maka
paginya kami sempatkan ke Malioboro dulu, gak beli oleh-oleh ya keliling aja.
:D. Dari Yogya naik mobil menuju Boyolali, karena rencana pendakian dari pos
pendakian New Selo.
Selepas berdoa dan memulai
pendakian, belum sampai 10 menit, belum ketemu nanjak yang sampai 45 derajat,
belum haus. Dalam hati ini udah bilang, “Subhanallah, gilak, parah, najong dah begini
beratnya bawa carrier perjalanan 5 jam nanjak terus gak ada eskalator supaya
sampai pasar bubrah tempat istirahat orang kok pada suka ya naik gunung ”.
Temen saya yang peka banget meminta saya tuker tas dengan yang lebih ringan.
Alhamdulillah perjalanan terasa lebih mudah.
Saya termasuk yang berjalan
paling lambat, hampir paling belakang (ga dibiarin perempuan yg dibelakang,
dijagain dong), paling sering istirahat, paling lama juga istirahatnya kayanya.
*maklum baru, amatir. Saya baru tahu kenapa memilih menanjak pada malam hari
karena lebih adem jadi gak kepanasan jadi gak terlalu sering kehausan dan yang
paling penting jadi gak tau kalau medan
yang ada di depan mata tuh nyeremin (nanjak banget, batu gede, kanan kiri
jurang) dan lo akan tahu itu pas perjalanan pulang. Saya pas pulang aja ngomong
gini, “Oh My God, ya Allah, ternyata gw tuh kemarin lewatin beginian, kok bisa
siiih, kok gw berani siiih.”
Setelah kurang lebih 5 jam
perjalanan akhirnya sampai juga di pasar Bubrah tempat istirahat. Selesai
bangun tenda, makan, minum kemudian tidur untuk persiapan bangun jam 4 pagi
untuk naik ke puncak Merapi. Itu saya awalnya gak bisa tidur, dingiiin dan
alasnya kan matras di atas pasir dan bebatuan yang pasti gak senyaman kasur
kapuk bau iler di rumah. Haa. Itu saya juga ngebayangin yang serem-serem dari
hantu macam pendaki ngesot *sodaraan ama suster ngesot, hewan buas macam nyamuk
raksasa, pembunuh berdarah anget yang bawa piso lipet, atau Edward Cullen yang
siap gigit lehernya pendaki ngesot karena mau ngelindungin saya*bah.
Ba’da solat subuh, kami siap
muncak dan melihat matahari terbit. Karena sebelum kami sudah banyak rombongan
yang naik, maka kami hanya tinggal mengikuti saja. Menurut perkiraan dari pasar
Bubrah menuju puncak itu gak terlalu lama. Dengan semangat 45 dan semangat
muncak, sesulit apapun saya akan sampai ke puncak. Yeay. Tapi lama kelamaan,
jalur dakinya ternyata makin sulit, kejatuhan batu dari atas, jalan yang
merayap macam wall climbing, jalan selangkah bisa turun lagi, kebingungan
karena gak ada batu yang bisa jadi pegangan atau patokan karena akan gelinding.
Di tengah perjalanan, teman saya
ada yang memilih turun dan tidak melanjutkan sampai puncak selain sudah pernah dia
merasa tidak bisa naik lagi. Teman saya yang lain ada juga yang mau ikut turun
dan milih masak saja, tapi saya semangati soalnya nanti saya gak ada temannya
yang jalan agak hati-hati *lambat maksudnya, soalnya kami sama-sama pemula jadi
akan sangat keren kalau kami bisa muncak bersama. :D
Langit mulai berubah terang jadi
biru, matahari sudah terbit kuning bulat cerah, kami belum sampai puncak juga. Kaki
saya sudah lecet sana sini kena batu. Orang-orang banyak yang memilih turun dan
tidak melanjutkan perjalanan. Beberapa orang di depan saya sudah beristirahat
dan menyatakan tidak bisa lagi ke atas, kita salah jalur. Sedih sih, saya gak
bisa lihat seperti apa di puncak saya gak bisa foto di tulisan Merapi sekian
sekian Mdpl. Tapi saya senang sudah sejauh ini, batas maksimal yang bisa
dicapai lewat jalur yang katanya salah ini.
Kami pun putuskan untuk turun
setelah istirahat sambil memperhatikan kawanan lain yang lewat jalur lain, “jalur
benar” menuju puncak Merapi. Mendengar pekikan takbir mereka karena sudah
sampai di puncak dari kejauhan. Sebelum turun, dalam hati saya sudah bilang “ini
gimana turunnya yak, naiknya aja merayap merangkak macam wall climbing, gw mau
cari eskalator aja.” Dan benar saja daripada turun dengan cara berdiri yang
mungkin gak bisa direm dan ada kemungkinan jatoh, maka dengan cara meluncur
seperti naik perosotan lebih aman. Meski gak aman untuk bagian tubuh yang lain.
Haha. Seru sekali. Saking serunya saya kalau ketemu turunan maunya perosotan
saja *ini sih karena kecapekan dan kaki pegal-pegal.
Setelah sampai di tenda, makan,
minum dan istirahat kami harus siap-siap untuk melanjutkan perjalanan turun. Yap,
5 jam yang sama. Kali ini saya membawa tas saya sendiri, karena sudah lebih
ringan *makanan ludes ciiin.
Yah pantas banyak yang menyenangi
olahraga yang menurut saya ekstrim ini, meski saya tak sampai puncak. Masya
Allah pemandangannya saat matahari mulai terbit, barisan awan yang sudah
seperti lautan awan yang biasanya saya lihat dari bawah dan harus menenggak ke
atas untuk menatapnya. Kali ini saya memandang lautan awan seperti saya
memandang tanah yang saya lihat sehari-hari. Wajah-wajah bahagia saat sudah
sampai hampir puncak. Keriangan saat berjalan mendaki dan turun gunung. Saling menyemangati,
mengingatkan, membantu untuk sama-sama sampai tujuan. Wajah langit kala malam,
bintang begitu dekat. Dinginnya malam yang pasti beda sama dinginnya AC. Saling
menyapa dengan grup pendaki lain. Masak makanan untuk mengganjal perut bekal
melakukan pendakian. Ah seru sekali. Pantas saja, katanya naik gunung itu
nagih.
Sekian cerita pendakian gunung
pertama versi saya, semoga Allah izinkan untuk mendaki gunung lainnya.
Wassalam.