Assalamu'alaikum
Nah ini beberapa episode drama lanjutan dari pengalaman saya dan teman-teman selama umroh. Sebenernya masih banyak drama yang bisa diceritakan. Tapi cukup menjadi kenangan kami saja (padahal sudah pegel nulis). ^^
Drama Episode 6 (Makan Lagi, Lagi dan Lagi)
Perjalanan dari Bangkok ke Jeddah dan
transit di Mumbai yang makan waktu kurang lebih 4 jam membuat kami disuguhi
makan. Makan malamnya itu kayaknya sih kari ayam, dengan bumbu warna hijau
kental lembek lembek *ihyeuck menyelimuti potongan ayam dan nasi. Dari rupanya
sih agak-agak gimana gitu ya dan ternyata rasanya gak jauh beda dari rupanya,
rada aneh sih tapi kalau saya, habis aja tuh. Beberapa teman mengaku tidak
menyentuhnya sama sekali karena melihat dan mencium aromanya saja sudah illfeel. Selain itu juga disuguhi
yogurt. Saya sudah membayangkan yoghurt macam heavenlybl*sh, begitu saya coba
OMG gak enak. Ternyata kata teman saya seharusnya dikonsumsi dengan tambahan
gula pasir yang sudah disediakan dan rasanya not bad, tasty, enak. Sesampainya di Mumbai,
selama perjalanan ke Jeddah yang juga memakan waktu kurang lebih 4 jam ternyata
dapet makan lagi dengan menu yang hampir mirip. Temen-temen saya banyak yang
gak makan lagi akhirnya. Saya? gak habis sih tapi saya coba dan saya makan
separuhnya. Begitu sampai di Jeddah, bertemu dengan operatornya ternyata dapat
makan malam lagi dengan menu Indonesia, ayam bakar dilengkapi sambal.
Teman-teman makan dengan lahap, saya? kekenyangan. Begitu tiba di Madinah sudah
pagi dan jadwalnya makan pagi. Ya ampuuun kenapa makan lagi, perasaan barusan
sudah makan, kok makan lagi siiih.
Drama Episode 7 (Galau Pilih Antrian)
Sesampainya di Jeddah, tiba waktunya
pengecekan imigrasi. Kami yang wanita pun mengatur diri berbaris di belakang
“ceritanya umroh” kami. Meski sudah hampir tengah malam ternyata masih ramai
banget barisan orang mengantri masuk imigrasi. Awalnya kami berdiri di
katakanlah counter imigrasi A, setelah menunggu lama kok barisan gak maju-maju
dan melihat barisan di counter B maju, kami pun pindah. Ngobrol sana sini,
bercanda haha hihi sambil menyadari kok barisan ini gak maju-maju juga ya
seperti barisan sebelumnya. Akhirnya kami pun pindah counter lagi. Hore-nya
barisan ini maju sedikit demi sedikit sampai kami pun hampir berada di barisan
depan. Sambil merhatiin petugas bandara yang bukannya pada kerja malah main HP,
ngobrol, gak lihat apa antrian masih panjang di belakang. Kemudian, terdengar
pengumuman yang akhwat diminta pindah ke counter khusus akhwat. Bermodal
pengetahuan gak boleh jauh dari mahrom dan gak mau menyia-nyiakan antrian yang
hampir di depan counter imigrasi, rombongan kami yang wanita enggan beranjak.
Sampai akhirnya ada yang menyerah pindah counter dan gak berapa lama ngajak
rombongan wanita yang lain untuk pindah. Ternyata beneran gak pakai antri dan
pemeriksaan imigrasinya pun cepat. Ya ampun kenapa gak dari tadi gini aja sih.
Drama Episode 8 (Mengejar Raudoh)
Malam pertama menginap di Madinah,
ada kehebohan di grup kami. Lima peserta wanita sampai jam 9.30 malam
dilaporkan belum pulang ke hotel, termasuk saya di dalamnya. Jadi begini
ceritanya, karena mendengar cerita sukses teman lain yang skip makan siang
karena mengejar Raudoh selesai zuhur, akhirnya saya dan 5 orang peserta wanita
lain memutuskan skip makan malam dan mengejar Raudoh di pintu Usman bin Affan,
pintu 26. Namun apa yang terjadi sesudah itu?
Ada satu orang yang sedang tidak
solat, karena ramai orang ke Raudoh akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke
hotel sendiri, khawatir yang lain sudah lebih dulu pulang dan mencarinya. Lima
orang lainnya tetap mencoba masuk ke Raudoh, tapi kami terpisah. Saya dan Firli
masih bersama sampai keluar dari raudoh. Sedangkan Uni Ola, Mama Uni Ola dan
ibu Hamimah awalnya bersama.
Setelah masuk di raudoh, karena saya
meninggalkan tas, kemudian saya dan firli mencari tas gendong saya yang memang
sejak awal saya tinggal karena saya pikir berat dan merepotkan jika berdesakan
di raudoh. Dan kami tidak menemukan tas yang saya tinggal, padahal saya yakin
sekali meninggalkannya dekat rak quran. Karena panik dan kebingungan saya pun
terpisah dengan Firli untuk mencari tas. Lama saya mencari, tanya sana sini
bahkan melaporkan ke bagian kehilangan sampai solat hajat minta ditemukan
dengan tas. Tapi gak ketemu juga.
Saya sudah mau nangis sambil
mengingat ya Allah bikin dosa apa saya selama ini sampai kejadian kayak begini.
Bayangin aja, tas dengan dompet bekal selama umroh dan yang saya ingat ada
paspor (padahal kan paspor dikumpulin di operator sejak tiba di Jeddah), ada
tiket pulang juga, masak di hari pertama sudah hilang. Saya bahkan sampai tanya
petugas yang orang Indonesia, apa masih bisa pulang ke Indonesia dengan kondisi
begini. Petugasnya yang kayaknya kasian ngeliatin saya, ikut menemani mencari
tas dan melapor di tempat kehilangan sambil menasihati “Jangan bawa barang
penting ke masjid, meski di masjid orang jahat tetap ada”.
Sambil pasrah dan akhirnya bertemu
dengan Uni Ola dan mamanya, kami pun berjalan lunglai karena saya kehilangan
tas, sedang Uni Ola kehilangan jejak ibu Hamimah yang seharusnya bersamanya.
Saat di pintu gerbang keluar masjid, kami tak menyangka bertemu teman-teman
yang ternyata duduk khawatir mencari keberadaan kami. Dan diberi pengertian,
bahwa kita harusnya sesuai itinerary yang dirancang di awal karena jadwal ke
Raudoh itu besok bukan hari ini.
Tas saya ada di Firli, teman yang
awalnya bersama saya. Kami jadi tidak enak karena membuat yang lain khawatir
sampai harus menunggu dan menjemput kami. Pencarian belum selesai karena Ibu
hamimah belum bersama kami, akhirnya Uni Ola dan Moa balik lagi ke pintu 26
yang jaraknya lumayan jauh untuk mencari ibu Hamimah. Sedangkan yang lainnya
tetap menunggu di dekat pintu gerbang jaga-jaga siapa tahu ibu Hamimah lewat
dan ada juga yang mencoba melaporkan kehilangan orang pada petugas.
Tak lama, Uni Ola-Ibu Hamimah-Moa pun
muncul. Mereka bertemu Ibu Hamimah di tangga dekat pintu Usman bin Affan karena
di tempat itulah sejak awal kita tentukan untuk tempat bertemu jika terpisah
dan akan kembali ke hotel bersama-sama. Akhirnya kami berkumpul dan pulang ke
hotel bersama-sama.
Drama Episode 9 (Makan Malam Kami Mana?)
Siang itu kami mengobrol tentang
informasi yang didapat dari Mutowwif kami bahwa banyak pekerja di Mekkah asal
Indonesia yang tidak memiliki visa bekerja tapi hanya visa umroh. Jadi mereka
bisa dibilang ilegal bekerja di Mekkah. Ada juga istilah haji sendal jepit,
yaitu orang dengan visa umroh tapi mereka menunggu sampai tiba bulan haji
dengan bekerja di Mekkah kemudian saat bulan haji mereka melaksanakan ibadah
haji. Dan saat ingin pulang mereka tinggal di terowongan, sampai akhirnya kena
razia polisi dan mereka dideportasi sehingga bisa pulang ke Indonesia.
Ketika waktu makan malam tiba, tidak
seperti biasanya makanan belum terhidang di meja. Bapak petugas catering yang
biasanya ramah mempersilahkan kami makan juga tidak ada. Ternyata menurut
petugas catering lain yang baru saja menerima kabar, bapak itu terkena razia
polisi karena visanya bukan untuk bekerja saat akan mengambil makan malam. Ya
ampun, mendengar cerita itu kami kaget bukan kepalang. Selain kaget karena
mempertanyakan nasib makan malam kami, kami juga kaget karena siangnya baru
saja ngobrol tentang deportasi.
Keesokan paginya saat sarapan, betapa
terkejutnya kami saat melihat bapak petugas catering sedang sibuk menyiapkan
meja makan. “Laaah, bapak ko ada di sini. Kabarnya dideportasi?”, sahut kami.
Bapaknya hanya senyum-senyum manis. Saya sih tak dengar ceritanya langsung dari
bapaknya, tapi kata teman-teman “Bayar denda 2500 real”. Masya Allah banyak
bener yaaa.
Drama Episode 10 (Kisah Kasih Hajar Aswad)
Ini adalah kisah dari pengalaman saya
dan teman-teman mencoba mencium Hajar Aswad. Teman saya ada yang sampai
diangkat ke tempat askar berdiri di samping Hajar Aswad untuk ditolong keluar
dari keramaian. Ada pula yang kacamatanya lenyap dan menyisakan gagang yang masih
menempel di balik jilbab. Jahitan tas putus, jangan ditanya hampir semua
mengalaminya. Ada yang digetok halus sama penjaga bersorban diminta untuk gak
mencium Hajar Aswad karena tidak aman bagi jamaah perempuan. Bahkan ada teman
saya yang gak tahu apa-apa tentang keberadaan calo di sekitar kabah yang
membantu untuk mencium Hajar Aswad, akhirnya dibantu dan dimintai bayaran. Ada
yang mencoba sendirian, ada juga yang mencoba bersama-sama tapi akhirnya
terpisah juga. Ada pula yang Hajar Aswad sudah di depan mata tapi tak
kesampaian. Ada yang ikut masuk rombongan lain. Ada yang mencoba berkali-kali
dan berhasil dan yang lebih banyak lagi yang sudah berhasil enggan berusaha
lagi karena kapok. Bukan apa-apa, ramai banget yang berusaha mencium Hajar
Aswad. Kebanyakan laki-laki, dengan fisik berbadan besar dan gak mau kalah
meski ada jamaah perempuan.